Saturday, 23 April 2011

Harta isteri itu haram tanpa izin isteri...

Yusuf Qardawi menulis :
Lebih dari itu Islam telah melarang pemanfaatan orang-orang kuat atas orang yang lemah, seperti orang-orang yang memakan harta anak yatim,para suami memakan harta isteri, pemerintah makan harta rakyatnya dan para juragan yang memakan hak-hak buruhnya, atau para tuan tanah yang memakan keringat para petani.
Artikel sepenuhnya dibawah ini...
WAllahua3lam
Wassalam
Hizamri
==================================================
HARAMNYA PENDAPATAN DARI PEKERJAAN YANG KOTOR
Kaidah ini merupakan penghias sekaligus penyempurna terhadap kaidah sebelumnya. Karena kerja yang dianjurkan oleh Islam dan diakui pengarah positifnya adalah kerja yang baik (halal) sesuai dengan syari'at.
Adapun kerja yang kotor maka Islam telah melarangnya. Kerja yang kotor adalah kerja yang mengandung unsur kezhaliman dan merampas hak orang lain tanpa prosedur yang benar.
Seperti ghashab, mencuri, penipuan, mengurangi takaran dan timbangan, menimbun di saat orang membutuhkan dan lain sebagainya. Atau memperoleh sesuatu yang tidak diimbangi dengan kerja atau pengorbanan yang setimpal, seperti riba, termasuk undian dan lain-lain.
Atau harta yang dihasilkan dari barang yang haram, -seperti khamr, babi, patung, berhala, bejana yang diharamkan, anjing yang terlarang dan yang lainnya. Atau harta yang diperoleh dari cara kerja yang tidak dibenarkan menurut syari'at, seperti upah para dukun dan takang ramal, administrasi riba, orang-orang yang bekerja di bar-bar, diskotik dan tempat-tempat permainan yang diharamkan dan lain-lain.
Rasulullah SAW bersabda:
"Setiap tubuh yang berkembang dari yang haram, maka neraka lebih utama baginya." (HR. Ahmad)
Islam tidak menghargai bagusnya niat dan mulianya tujuan, apabila cara kerjanya diharamkan. Maka orang yang memperoleh harta riba untuk membangun masjid, madrasah, darul aitam atau yang lainnya, selamanya tidak sah menurut Islam. Dalam hadits shahih disebutkan
"Sesungguhnya Allah itu Thaayyib (baik), tidak menerima (suatu amal) kecuali yang baik
(halal)." (HR. Muslim)
Dalam hadits lain disebutkan:
"Sesungguhnya yang kotor itu tidak bisa menghapus yang kotor (juga)." (HR. Ahmad)
Sesuatu yang haram tetaplah haram menurut pandangan Islam, meskipun ada seorang qadhi yang menghalalkannya menurut zhahirnya dari bukti yang diperoleh. Allah SWT befirman:
"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dan pada harta benda orang lain itu dengan (jalan) berbuat dosa, padahal kamu mengetahui." (Al Baqarah: 188)
Berkenaan dengan masalah tersebut Rasulullah SAW pernah bersabda dalam haditsnya:
"Sesungguhnya kalian mengadu kepadaku, baranglali sebagian kalian lebih pandai dengan hujjahnya daripada sebagian yang lainnya, sehingga aku memutuskan untuknya sebagaimana yang aku dengar. Maka barangsiapa yang aku putuskan untuknya dan hak saudaranya, maka itu menjadi sepotong dari api neraka. Maka tinggalkan atau ambillah." (HR.Bukhari - Muslim)
Meskipun qadhinya adalah Rasulullah SAW namun beliau memutuskan sesuai dengan zhahirya sesuatu. Dengan demikian maka Islam telah menjadikan nurani seorang Muslim dan ketaqwaannya sebagai penjaga atas kehidupannya dalam berekonomi.
Jika secara lahiriyah seorang qadhi telah memutuskan, maka sesungguhnya Allah selalu melihat atas segala hakikat dan rahasia.
Lebih dari itu Islam telah melarang pemanfaatan orang-orang kuat atas orang yang lemah, seperti orang-orang yang memakan harta anak yatim, para suami memakan harta isteri, pemerintah makan harta rakyatnya dan para juragan yang memakan hak-hak buruhnya, atau para tuan tanah yang memakan keringat para petani.
Di antara yang diperingatkan oleh Islam dengan keras adalah mengambil harta milik umum tanpa prosedur yang benar. Setiap orang dari putera bangsa memiliki hak, maka apabila ia mengambil secara tersembunyi atau merampas, berarti ia menzhalimi semua pihak dan mereka semua akan menjadi musuhnya di hari kiamat.
Dari sinilah datang ancaman yang keras bagi orang yang menyembunyikan ghanimah (harta rampasan perang), Allah berfirman:
"Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dilhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal. Sedang mereka tidak dianiaya." (Ali 'Imran: 161)
Harta milik umum itu diharamkan bagi para pejabat, sebagaimana dia juga diharamkan bagi karyawan bawah, maka tidak diperbolehkan bagi mereka untuk mengambil satu dirham pun atau yang lebih kecil dari itu, tanpa prosedur yang benar.
Demikian juga tidak diperbolehkan bagi mereka memanfaatkan jabatan mereka untuk memperkaya diri dengan alasan bonus atau hadiah. Bagi setiap orang yang memiliki hati nurani dan memiliki akal yang jernih niscaya mengetahui bahwa itu namanya riswah (suap) dalam bentuknya yang tersamar.
Ada seseorang yang ingin memberi hadiah kepada Umar bin Abdul Aziz, lalu beliau menolaknya, maka orang itu berkata kepada beliau, "Mengapa engkau menolak? Rasulullah SAW saja menerima hadiah." Maka beliau berkata, "Dahulu hadiah bagi Rasulullah SAW benar-benar hadiah, tetapi untuk yang ini adalah suap!"
Rasulullah SAW pernah marah kepada pegawainya yang bemama Ibnul Lutbiyah, yaitu ketika dia baru kembali dari tugasnya memungut zakat. Dengan membawa sejumlah harta, kemudian ia berkata, "Ya, Rasulullah, ini untukmu dan ini untukku," maka Nabi SAW bersabda mengingkarinya:
"Sebaiknya ia duduk-duduk di rumah ayah atau ibunya sambil menunggu, apakah ia memang diberi hadiah atau tidak" (HR. Muttafaqun 'Alaih).
Maksudnya hadiah itu tidaklah datang kepadanya karena pribadinya, bukan pula karena hubungan persahabatan, atau karena hubungan famili yang mendahului antara ia dengan orang yang memberi hadiah. Tetapi hadiah itu tidak datang kepadanya melainkan karena jabatannya, maka tidak ada hak baginya dalam hal ini.
Oleh karena itu Islamlah yang pertama kali menerapkan terhadap para pejabat dan pemerintah tentang sebuah undang-undang, "Darimana kamu mendapatkan ini? Apakah dari hasil kerja, ataukah dari hasil yang tidak diperbolehkan oleh syari'at."
Islam telah menyatakan haramnya cara bekerja yang kotor berdasarkan tujuan-tujuan sosial ekonomi sebagai berikut
1. Menjalin hubungan antar manusia atas dasar keadilan, persaudaraan, memelihara kehormatan dan memberikan setiap hak pada pemiliknya.
2. Risalah Islam datang untuk menghilangkan faktor paling utama yang dapat menyebabkan semakin lebarnya jurang perbedaan (kesenjangan) antara individu dan kelompok, karena hasil keuntungan yang kotor. Seperti bentuk komisi yang besar, yang pada umumnya datang dari melakukan praktek yang terlarang dalam usaha. Berbeda dengan kalau kita terikat dengan cara-cara yang Islami, yang diperoleh adalah keuntungan yang sederhana dari usaha yang logis.
3. Mendorong manusia untuk bekerja dan bersungguh-sungguh, di mana tidak memperbolehkan memakan harta secara bathil. Artinya tanpa ada perimbangan kerja atau keikutsertaan yang wajar, tentang untung dan ruginya, seperti judi, riba, dan yang lainnya, meskipun jumlah keuntungannya secara ekonomi sangat melimpah.
--------------------------------------------------------------------------------
Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah
(Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh)
oleh Dr. Yusuf Qardhawi
Cetakan Pertama Januari 1997
Citra Islami Press
Jl. Kol. Sutarto 88 (lama)
Telp.(0271) 632990 Solo 57126

==================================================
Isteri merupakan amanah Allah yang dipertanggungjawabkan ke atas suami untuk memeliharanya. Lazim kejadiannya memang berasal dari kejadian yang lemah atas sifat perempuannya maka sudah semestinyalah suami menjaga isterinya dengan sebaik-baik jagaan. Seorang suami mestilah tahu hak-hak yang dimiliki oleh seorang isteri dan melaksanakannya dengan sebaik mungkin. Sabda Rasulullah saw:
“Takutlah kepada Allah tentang wanita (isterimu). Sebab dia engkau ambil
(kahwin) dengan amanah daripada Allah.”
“… dan bagi mereka (isteri) mempunyai hak atas kamu (suami) menduduki satu darjat di atas mereka, dan Allah adalah Maha bijiksana. Yakni suami menduduki tempat sebagai pemimpin kehidupan berumahtangga yang bertanggungjawab.”
“Lelaki (Para suami) adalah pelindung dan pembila atas perempuan (isteri) berdasarkan apa-apa yang telah dilebihkan Allah bagi yang satu daripada yang lain. Dan berdasarkan apa-apa yang mereka nafkahkan dengan harta mereka.”
Pemberian nafkah adalah wajib semenjak mula berlakunya akad nikah, meskipun isterinya itu seorang yang kaya raya. hak isteri itu tidak berubah dan kewajipan itu tetap ke atas suami.
Takrif nafkah, ia adalah suatu bahagian daripada hartanya yang dibelenjakan kepada orang-orang yang dipertanggungjawabkan kepadanya. Manakala yang dikatakan harta itu pula mestilah dari sumber yang halal, ia bukan hak anak yatim atau bukan hak orang lain yang disimpan kepada kita serta ia bukan dari usaha curi, rasuah, riba dan sebagainya.
Jadi, harta yang dijadikan nafkah untuk perbelanjaan isteri-isteri dan anak-anak, ia mestilah harta yang diperolehi dari jalan yang halal. Harta yang haram, ia tidak boleh dijadikan nafkah. Sabda Rasulullah saw
“Setiap daging yang tumbuh dari harta yang haram, nerakalah yang senang kepadanya kelak.”
Adapun nafkah, ia terbahagi kepada 3 bahagian atau nafkah kepada 3 bahagian. Iaitu yang pertama ialah kepada isteri, yang kedua kepada anak dan yang ketiga kepada usul. Nafkah kepada isteri, mestilah isteri yang sah atau isteri dalam ‘Iddah raj’i atau ‘Iddah yang boleh dirujuk kembali, ertinya ialah ‘Iddah dari talak satu atau dari talak dua. Tetapi ‘Iddah talak tiga tidak berhak diberi nafkah kerana ia adalah talak yang tidak boleh dirujuk kembali.
Nafkah yang diberi kepada anak, mestilah bagi anak yang sah. Anak yang di luar nikah atau anak zina, tidak wajib diberi nafkah. Takrif wajib nafkah kepada anak juga ialah anak yang bukan akil baligh. Tetapi bagi anak yang sudah akil baligh, tidak wajib lagi bagi ayah untuk memberi nafkah kecuali anak itu tidak boleh mencari nafkahnya sendiri. Katalah seorang anak itu akil baligh ketika umurnya 15 tahun sedangkan masa itu dia masih belajar di sekolah. Ertinya, anak itu belum berupaya lagi mencari rezeki. Makna, ayahnya wajib memberi nafkah kepada anaknya.
Nafkah usul, ialah nafkah keturunan. Umpamanya, anak memberi nafkah kepada ayahnya. Syaratnya mestilah ibu bapa itu tadi adalah terlalu susah hingga tidak mampu menyara hidupnya. Seorang ayah yang sudah tidak mampu mencari nafkahnya sendiri, adalah berkewajipan bagi anak-anaknya memberi ibu bapa nafkah. Ertinya, seorang anak yang memberi belanja hidup kepada orang tuanya, bukan dibuat suka-suka hati. Ia adalah satu tangggungjawab yang wajib.
Seorang suami perlulah mengetahui syarat-syarat yang wajib dan berhak diberi nafkah kepada isteri, bukan ikut bagi sesuka hati sahaja. Syarat pertama ialah isteri yang taat kepada suami. Taat dalam ertikata menyerah diri bulat-bulat kepada suami samada jiwa raganya, tenaga dan akal fikirannya. Begitu juga, menyerah diri kepada suami bererti menyerah zahir dan batinnya pada suami. Isteri yang demikian saja yang wajib diberi nafkah. Isteri yang tidak taat 100% kepada suami atau sentiasa berbalah dengan suami, tidak wajib diberi nafkah.
Syarat yang kedua ialah isteri yang tidak keluar rumah kecuali dengan izin suami. Seorang isteri itu memang dilarang oleh syariat, keluar rumah tanpa izin dari suami. Namun itu pun, hari ini begitu ramai sekali para isteri yang tidak sedar perintah ini. Mereka bebas keluar rumah sesuaka hati padahal yang dia lakukan itu adalah satu dosa. Cuma para isteri hari ini merasakan apa yang dia lakukan itu tidak apa-apa. Malah, ada setengahnya sampai berani membentak suami, kalau dia ditanya tentang pemergiannya itu.
Isteri yang keluar tanpa keizinan suami, bererti dia tidak taat dan melanggar syariat. Ketaatan pada suami bererti taat di dalam agama. Apa saja yang dilarang dan diharamkan oleh Allah dan Rasul dalam rumahtangga dan di dalam perhubungan suami isteri, isteri hendaklah taat.
Gugur nafkah bagi isteri-isteri yang tidak taat. Cuma gugur nafkah seorang isteri yang tidak taat itu, sabitnya adalah dengan syarat-syarat yang tertentu. Ertinya, ada beberapa syarat yang mensabitkan gugurnya nafkah isteri apabila dia berlaku tidak taat.
Adapun suami-suami yang wajib memberi nafkah kepada isteri terdiri dari tiga golongan. Pertama, suami yang kaya, kedua ialah suami yang pertengahan dan yang ketiga ialah suami yang miskin atau papa. Ketiga-tiga golongan ini ada peringkat nafkah masing-masing terhadap isteri. Seorang suami yang kaya lain ukuran nafkahnya dan suami yang sederhana kekayaannya, lain ukuran nafkahnya, seorang suami yang miskin papa, lain pula ukuran nafkahnya.
Kewajipan nafkah bagi suami yang kaya menurut yang diterangkan dalam pengertian syariat ialah, memiliki harta yang boleh dibelanjakan sehingga umur yang ghalib atau lazimnya dia boleh hidup dan kalau sekiranya dia mati, masih ada baki harta itu. Itulahyang dikatakan kaya.
Umur yang ghalib seorang itu boleh hidup, ia adalah ukuran biasa yang umum berlaku dikalangan satu-satu masyarakat itu. Biasanya bagi orang-orang melayu, disekitar 55 membawa kepada 65 tahun. Itulah sekitar umur yang ghalib seseorang itu boleh hidup. Walau bagaimanapun, itu adalah ukuran mengikut akal kita. Tetapi di sisi syariat, tidak ada siapa yang boleh mengetahui kecuali Allah swt.
Bagi orang kaya, ada kaedah-kaedah nafkah yang mesti diberikannya kepada isterinya. Pertamanya, suami mesti menyediakan sebuah rumah untuk anak isterinya, sama seperti rumahnya semasa dia berada bersama ibu bapanya dahulu. Ertinya, nafkah orang kaya terhadap isterinya adalah berat. kalau suami tidak menyediakannya, belumlah selesai tanggungjawab nafkahnya terhadap isterinya.
Kemudian, makan dan minum yang mesti disediakan untuk isterinya pula, mestilah jenis makan dan minum yang pernah dia terima semasa dia hidup bersama dengan ibu bapanya dahulu. Katalah semasa dia hidup bersama ibu dan bapanya dahulu, dia makan nasi yang berasnya bernilai beras terbaik. Maka, suami mestilah menyediakan makan untuk isterinya dengan beras yang terbaik juga. Begitu juga dengan lauk pauknya yang mana kalau sekiranya semasa berada bersama ayah dan ibunya dahulu dia makan lauk yang baik-baik, maka suami mestilah memberi isterinya lauk pauk yang baik-baik juga, seperti daging, ayam dan sebagainya.
Seterusnya dalam lain-lain peralatan rumah serta dapur, semuanya mesti disediakan mengikut keadaan yang baik-baik seperti dapur gas, alat-alat perabut dan lain-lainnya, mesti juga dari barang yang baik-baik.
Sekiranya, dahulunya dia biasa dibantu oleh orang-orang gaji, maka hendaklah suami mengadakan orang gaji untuk isterinya. Dan begitulah seterusnya dalam hal-hal yang lain di dalam rumahtangga suami itu, setiap apa yang pernah ada padanya dahulu, mestilah disediakan untuk isterinya.
Tentulah berat tanggungjawab bagi seorang suami yang kaya apabila diukur dan ditinjau di sudut fekah. Apabila kita tinjau di sudut tasauf iaitu di sudut hendak mendapatkan kewarakan dalam beramal ibadah, perkara-perkara yang demikian bergantung kepada keredhaan isteri. Seandainya isteri redha, tidak mahu segala kesenangan dan kenikmatan duania kerana takut akan hisabnya terlalu berat di akhirat nanti, isteri boleh menolak semua itu dan memilih kehidupan zuhud. Tetapi harus pula seorang suami itu ingat, suami tidak boleh memaksa isterinya zuhud. Tanggungjawabnya ialah untuk menyediakan tempat tinggal, makan minum dan pakaian untuk isterinya. Ini adalah tuntutan wajib ke atasnya.
Daripada pengertian tentang memberi nafkah kepada isteri bagi suami-suami yang termasuk dalam golongan kaya, dapatlah dijadikan ukuran tentang bagaimana pula tanggungjawab suami-suami yang termasuk dalam golongan pertengahan dan golongan miskin. perlulah diingat bahawa dalam persoalan memberi nafkah kepada isteri ini, Rasulullah saw pernah bersabda: “Takutlah kamu kepada Allah dalam urusan perempuan, sesungguhnya kamu mengambil mereka dengan amanah Allah dan telah dihalalkan bagi kamu kemaluan mereka dengan kalimat Allah dan diwajibkan atas kamu memberi nafkah dan pakaian kepada mereka dengan cara yang sebaik-baiknya.”
Kemudian Allah swt juga ada berfirman yang maksudnya:
“Hak (nafkah) isteri yang dapat diterimanya dari suaminya seimbang dengan kewajipan terhadap suaminya itu dengan baik.”
Dan di dalam ayat yang lain, Allah berfirman yang maksudnya:
“Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuan dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.”
Daripada pertanyaan-pertanyaan di atas jelaslah kepada kita ukuran pemberian nafkah bagi seorang suami itu terhadap isterinya. kalau suami-suami yang termasuk dalam katagori yang kaya tadi, telah digariskan kaedah-kaedah nafkah yang wajib diberikannya kepada isterinya, maka bagi suami-suami yang pertengahan dan miskin, bolehlah kita gariskan tentang banyak mana nafkah yang wajib suami berikan kepada isterinya. Iaitu berdasarkan daripada hadis Rasulullah saw dan dari pertanyaan Allah di atas, suami-suami wajib memberi nafkah kepada isteri-isterinya mengikut kemampuannya serta menurut keadaan dan tempat.
Begitulah tuntutan nafkah zahir kepada para isteri yang wajib bagi suami-suami melaksanakannya. Seandainya para isteri bagi suami yang miskin atau pertengahan kaya meminta lebih dari yang mampu disediakan oleh suami, sabda Nabi saw.:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada seorang isteri yang tidak bersyukur kepada suaminya.”
Menganai nafkah dua orang suami isteri yang sama-sama bekerja samada sama-sama menjadi guru, sama-sama bekerja di pejabat atau sama-sama menoreh getah dan sebagainya. Sebenarnya persoalan ini adalah amat berat kerana ia melibatkan harta pusaka yang tidak dapat ditentukan siapa punyanya. Seandainya, dalam soal kedua-dua mencari nafkah ini ditakdirkan suami meninggal atau ditakdirkan isteri meninggal, bagaimana pula kedudukan harta yang ditinggalkan.
Dalam hal ini, jika meninggallah salah seorang di antara keduanya, harta yang tinggal tidak boleh dipusakakan kerana harta yang tinggal itu tidak tentu siapa yang punya. Harta itu sudah bercampur aduk antara nafkah isteri dengan nafkah suami. Syariat hanya menganggap hasil pencarian suami sahaja yang dijadikan harta pusaka untuk anak isteri tetapi isteri tidak boleh mencari nafkah untuk menjadikannya harta. Setiap wanita hanya boleh memiliki harta melalui peninggalan ayah ibu atau pun adik beradik atau pengninggalan suami.
Sekiranya seorang itu bekarja serta berusaha dan berikhtiar untuk menambahkan pendapatan keluarga, satu pejanjian antara isteri dan suami mesti ada untuk mengikrarkan harta sama sepencaria itu. Di antara ikrar-ikrar yang boleh dibuat ialah seperti misalnya, suami mengatakan kepada isteri bahawa seluruh harta yang mereka cari bersama itu adalah hak suami, walaupun bahagian isteri yang mencari ada di dalamnya. Tetapi suami boleh mengikrarkan semuanya harta dia. Sekiranya suami meninggal, seluruh yang ada pada harta itu, adalah menjadi harta pusaka yang boleh dibahagi-bahagiakan. Begitu juga, suami boleh mengikrarkan kepada isteri tentang harta yang sama-sama dicari itu dengan mengatakan bahawa semuanya adalah hak isterinya. Sekiranya suami meninggal, seluruh harta yang tingga itu adalah hak isterinya.
Boleh juga, di antara suami isteri yang sama-sama mencari nafkah mengasingkan harta masing-masing. Misalnya, kalau isteri membeli pinggan mangkuk hasil pencariannya, isteri boleh menyatakan kepada suaminya bahawa pinggan mangkuk itu adalah hartanya. Dalam soal ini mesti ada perjanjian bertulis, kerana ia tidak akan menjadi perbalahan apabila meninggal salah seorang antara kedua nanti. Dan yang selebih baiknya ialah dengan memanggil ahli-ahli keluarga waris untuk menjadi saksi. Ini adalah amat mustahak sekali kerana ia melibatkan soal paraid atau pembahagian harta.
Soal suami isteri yang sama-sama bekerja mencari nafkah sudah menjadi perkara biasa hari ini. Kalau sama-sama tidak jelas tentang harta dan faraid harta, takut-takut nanti seluruh isi keluarga memakan harta yang haram. Sedangkan isteri yang pergi bekerja itu pun, isteri mesti hati-hati sungguh kerana takut-takut isteri membawa balik harta yang haram. Hal ini mudah sangat berlaku. Andainya isteri pergi bekerja itu tanpa lafaz izin dari suami atau tidak menutup aurat, bermakna isteri keluar rumah secara haram. Jadi, suami kenalah melafaskan izin setiap hari kepada isteri serta mensyaratkan kepada isteri setiap kali pergi bekerja dengan menutup aurat. kemudian harta yang jadi sama-sama sepencarian itu pula hendaklah dinyatakan, apakah boleh ia dimakan bersama. Kalau tidak, takut-takut nanti suami memakan harta haram.
Dikutip dari: laman FauzyNM
==================================================

MODUL 1 (Sambungan)

1.5 (ii) Institusi Keluarga dalam Islam


2.2.1 Talaq Raj'i
2.2.2 Talaq Ba'in
1. Talaq Ba'in Sughra
  1. Talaq sebelum Jima'
  2. Talaq melalui Khulu'
  3. Talaq melalui Fasakh
  4. Talaq melalui Ila'
  5. Habia Tempoh 'Iddah
2. Talaq Ba'in Kubra
  1. Talaq Selepas Selesai Tiga Talaq
  2. Talaq melalui Li'an
2.3.1 Menasihati
2.3.2 Memisahkan Isteri dari Tempat Tidur
2.3.3 Memukul
2.3.4 Tahkim
2.3.5 Menjatuhkan Talaq
4.3.1 Urutan Pengasuhan Anak anak
4.3.2 Syarat syarat Pengasuh
4.3.3 Antara Pengasuh dan Pembantu Rumah

Keluarga adalah asas dan sumber kekuatan masyarakat. Ini adalah kerana masyarakat itu terdiri daripada unit unit keluarga, dan keluarga adalah laksana sel-sel yang membentuk tubuh. Jika keluarga baik, nescaya masyarakat pun akan menjadi baik, dan sebaliknya jika keluarga itu rosak maka masyarakat seluruhnya akan menjadi rosak.
Sesebuah masyarakat itu pula akan menjadi baik dan dipandang baik hanya bila ia berlandaskan kepada satu sistem hidup yang haq, iaitu Islam, di mana pengabdian hanya kepada Allah sahaja dan tidak kepada sesama manusia atau apa apa sesuatu selain daripada Nya.
Fungsi utama institusi keluarga dalam Islam adalah untuk menjamin wujudnya suasana di mana nilai nilai Islam dapat tumbuh dan berkembang di dalam jiwa, diri dan peribadi ahli keluarga. Melalui institusi ini generasi muda diasuh dan dididik untuk mencintai Islam dan menghayatinya. Melalui institusi ini jugalah generasi muda dibentuk untuk mendukung aspirasi aspirasi yang diredai dan yang dikehendaki. Suasana ini akan wujud di dalam sebuah keluarga dalam masyarakat Islam kerana pertalian antara ahli keluarga dan segala perlakuan mereka adalah berdasarkan iman dan taqwa kepada Allah semata mata. Di samping itu terdapat hak hak dan tanggungjawab setiap ahli keluarga yang diatur dengan begitu saksama dan 'adil oleh Islam. Keadaan tidak sihat seperti adanya perasaan dengki dan dendam, tidak puas hati atau mementingkan diri sendiri tidak mendapat tempat di dalam sebuah keluarga Islam. Malah apa yang timbul adalah perasaan kerjasama dan perpaduan antara ahli ahli keluarga.
Fungsi keluarga ini amat penting difahami oleh setiap muslim dan muslimah. la adalah suatu perkara yang memerlukan perhatian dan pelaksanaan yang teliti demi untuk melahirkan umat yang dapat menjalankan tugasnya. sebagai umat pilihan, yang berusaha secara berterusan untuk membawa sinar kebenaran kepada seluruh dunia.
Keluarga adalah merupakan struktur asas bagi keseluruhan sistem sosial dan kebudayaan di dalam Islam. Ia adalah merupakan satu institusi yang menjamin kestabilan sosial dan kebudayaan masyarakat keseluruhannya. Dalil dalil daripada al Qur'an dan al Sunnah menegaskan bahawa tujuan dan fungsi institusi keluarga adalah seperti berikut:
Pengekalan kehidupan manusia dan kebudayaan, penerusan peranan manusia sebagai khalifah Allah di atas muka bumi ini bergantung kepada berkesannya jentera yang menjamin pembiakan umat manusia. Segala sesuatu yang berkaitan dengan proses pembiakan memerlukan kepada wujudnya satu struktur yang stabil yang dapat menjamin proses tersebut berjalan dengan baik. Oleh itu perempuan, laki laki dan anak anak memerlukan satu institusi yang tetap dan berkekalan untuk memenuhi tujuan ini. Menurut al Qur'an, institusi keluarga adalah sistem yang dapat mengendalikan hal ini. Firman Allah yang mafhumnya:
"Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhan mu yang telah menciptakan kamu daripada seorang diri, dan daripadanya Allah ` menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. " (An Nisa': 1)
"Isteri isteri kamu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercucuk tanam, maka datangilah tanah tempat bercucuk tanam mu sebagaimana saja yang kamu kehendaki." (Al Baqarah: 223)
Kecenderungan untuk melakukan hubungan jenia adalah merupakan sesuatu yang tabi'i dalam diri manusia. Kecenderungan yang tidak dikawal akan membawa kepada kerosakan akhlaq dan tatasusila. Pengabaian sepenuhnya terhadap kecenderungan ini pula merupakan penentangan terhadap tabi'at semula jadi manusia. Islam menetapkan pengendalian yang baik demi menjamin kesucian masyarakat.
Islam melarang hubungan jenia di luar nikah. Tetapi Islam menggalakkan perkahwinan agar laki laki dan perempuan dapat memenuhi kecenderungan kecenderungan tabi'i mereka dengan sebaik baiknya. Islam menetapkan perkahwinan agar laki laki dan perempuan dapat meni'mati hidup berkeluarga di samping sama sama bertanggungjawab dalam mengukuhkan keluarga tersebut.
Firman Allah yang mafhumnya:
"Kerana itu kahwinilah mereka dengan setzin tuannya, dan berilah maskahwin menurut yang patut, sedang mereka pun wanita wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki laki lain sebagai piaraan." (A1 Nisa': 25)
"(Dan dihalalkan mengahwini) wanita wanita yang menjaga kehormatannya di antara wanita wanita yang beriman dan wanita wanita yang menjaga kehormatan di antara ahli Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskahwin mereka dengan maksud untuk mengahwini mereka, tidak dengan maksud untuk berzina dan tidak pula menjadikan wanita wanita simpanan" (Al Ma'idah: 5)
Sabda Rasulullah s.a.w yang mafhumnya:
"Hai para pemuda! Barangsiapa di antara kamu sudah ada kemampuan, maka kahwinlah sebab ia dapat menundukkan padangan dan memelihara kemaluan; tetapi barangsiapa tidak mampu, maka hendaknya ia berpuasa, sebab puasa itu baginya merupakan pelindung." (Bukhari)
Hubungan antara ahli ahli dalam keluarga, khususnya dalam hubungan suami isteri bukanlah hanya hubungan fizikal semata mata. Keluarga di dalam Islam rnerupakan pusat yang mengembangkan kasih sayang, kebaikan, perlindungan, kehormatan, percaya mempercayai, pengorbanan dan ketenteraman dan semua ini berlandaskan kepada kekuatan kekuatan rohaniyah. Firman Allah yang mafhumnya:
"Dan di antara tanda tanda kekuasaanNya, Dia menciptakan untukmu isteri isteri daripada jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dyadikanNya di antara kamu kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar benar terdapat tanda tanda bagi kaum yang berfikir." (Al Rum: 21)
".. mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka." (Al Baqarah: 187)
Fungsi pembiakan manusia tidak dapat sempurna tanpa adanya pendidikan, pembentukan keperibadian, pembinaan nilai dan pengarahan ke arah ciri ciri keagamaan dan kebudayaan. Tidak ada institusi atau kumpulan institusi institusi lain yang dapat mengambil alih peranan ini daripada institusi keluarga secara menyeluruh. Ini adalah kerana peranan yang dimainkan oleh institusi keluarga adalah merangkumi dan berterusan. la diasaskan kepada rasa tanggungjawab di kalangan setiap ahli keluarga.
Ia diasaskan kepada rasa tanggungjawab sebagaimana firman Allah yang mafhumnya:
"Hai orang orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu daripada apt neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.." (Al Tahrim: 6)
la merupakan hubungan kerohanian dan kasih sayang yang berpanjangan sepertimana firman Allah yang mafhumnya:
"Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikan kami imam bagi orang orang yang bertaqwa." (Al Furqan: 74)
"Ya Tuhan kami, jadikanlah aku dan anak cucuku orang orang yang tetap mendirikan salat, ya Tuhan kami, perkenankanlah do'a ku. Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang orang mu'min pada hari hisab." (Ibrahim: 40-41)
Institusi keluarga merupakan satu institusi yang menjamin keselamatan sosial dan ekonomi sesebuah masyarakat. Ini adalah kerana jaminan yang diberikan bermula daripada unit unit kecil di dalam masyarakat, iaitu keluarga. Apabila jaminan di segi sosial dan ekonomi dalam sesebuah keluarga itu baik, maka pada keseluruhannya, jaminan masyarakat dalam bidang bidang ini juga akan berada dalam keadaan yang baik juga.
Dalam institusi keluarga Islam tugas menyara isteri dan anak anak adalah tanggungjawab dan kewajipan suami. Islam menganggapnya sebagai sedaqah yang akan diberi ganjaran oleh Allah. Di samping itu Islam telah memerintahkan membantu kaum kerabat hendaklah didahulukan daripada memberi zakat dan sumbangan sumbangan kebajikan yang lain.
Undang undang harta pusaka juga menunjukkan tuntutan tuntutan ekonomi yang telah ditetapkan oleh Islam ke atas sebahagian daripada kaum kerabat.
Islam menentukan hak hak anak anak yatim. Mereka hendaklah diserap ke dalam sesebuah keluarga dan dilayani seperti anak sendiri. Orangorang yang telah lanjut usianya hendaklah dihormati dan dijaga dengan penuh tanggungjawab. Oleh itu salah satu daripada fungsi institusi' keluarga. di sini adalah untuk memperluaskan ikatan kekeluargaan dengan merasa bertanggung jawab dalam membantu mana sahaja ahli ahli keluarga yang dalam kesempitan. Dengan sikap ini maka akan terjalinlah seluruh anggota keluarga dalam satu ikatan sosio ekonomi dan kerjasama yang berteraskan kepada keimanan dan taqwa.
Jaminan sosial dan ekonomi yang diberikan oleh Islam melalui institusi keluarga mengekalkan suasana belas kasihan dan kasih sayang. Dalam sistem yang sebegini tidak perlulah anak anak yatim atau orang orang tua dihantar ke rumah rumah kebajikan masyarakat.
Jaminan sosial yang diberikan oleh Islam menjadi bertambah jelas dalam keizinan untuk laki laki berpoligami. Ini adalah kerana memaksa seseorang laki laki untuk hanya mempunyai seorang isteri akan membawa kepada kejanggalan moral dan sosial yang akan berkesudahan dengan natijah natijah yang merbahaya. Kemahuan syahwat laki laki itu tidak sama. Keupayaan laki laki untuk menguasai diri daripada gelojak syahwat juga tidak sama. Atas beberapa sebab, seorang laki laki itu mungkin terdedah kepada satu keadaan yang meletakkannya di antara dua pilihan; sama ada mengambil isteri kedua atau hanyut dalam arus dosa dan noda. Pilihan yang paling bijaksana pastilah pilihan yang pertama. Dalam keadaan sebegini poligami menunjukkan betapa bijaksananya Islam dalam menutup masyarakat daripada punca kerosakan sosial.
Berkemungkinan juga wujud keadaan sosial dan ekonomi yang lebih mendesak di dalam masyarakat; contohnya keadaan selepas sesuatu peperangan, iaitu apabila bilangan wanita melebihi bilangan laki laki. Dalam keadaan seperti ini, sama ada wanita akan berkekalan hidup sebagai balu, atau pun hidup terdedah kepada dosa dan noda, atau diserap ke dalam sistem kekeluargaan melalui poligami. Pada asasnya Islam mengutamakan wanita diserapkan ke dalam sesebuah keluarga. Dengan penyelesaian secara ini sekali gus Islam menyelesaikan masalah pembelaan terhadap anak anak yatim dengan rasa tanggungjawab dan penuh kasih.
Institusi keluarga Islam juga berfungsi untuk memperluaskan bidang kekerabatan di kalangan umat. Hubungan kekerabatan ini merangkumi berbagai bagai kumpulan di dalam masyarakat, antara keluarga keluarga, bangsa bangsa dan negara negara. Sabda Rasulullah yang membawa maksud:
"Ikatan perkahwinan itu (antara dua keluarga dan bangsa) menambahkan persaudaraan lebih daripada segala sesuatu." (Mishkat al Masabih)
Perluasan ini adalah penting untuk dapat merasakan ikatan yang kuat di antara seluruh manusia di atas landasan keimanan dan taqwa kepada Allah
Institusi keluarga Islam meningkatkan rasa tanggungjawab dan keazaman untuk berusaha di kalangan kaum laki laki. Mereka akan berusaha bersungguh sungguh untuk memperbaiki kedudukan ekonomi mereka dengan tujuan untuk dapat memenuhi hak hak orang orang yang berada di bawah penjagaannya.
Islam menggalakkan perkahwinan dan melarang ibu bapa menangguhkan perkahwinan anak anak perempuan mereka. Islam menegur ibu bapa yang menolak laki laki yang saleh yang hendak dipadankan dengan anak perempuan mereka di atas alasan miskin. Begitu juga Islam menegah ibu bapa menunda perkahwinan anaknya kerana beranggapan bahawa anaknya itu belum dapat menyara hidupnya sendiri dengan sepenuhnya atau belum lagi mendapat sara hidup yang cukup. Laki laki muda dinasihatkan tidak menunggu masa masa yang lebih baik. Walaupun pendapatannya masih tidak mencukupi, seseorang itu hendaklah berkahwin dengan penuh keimanan pada Allah. Selalunya perkahwinan itu sendiri memperbaiki keadaan yang sulit. Suami akan bekerja bersunggu sungguh untuk menghadapi cabaran dan tanggungjawab. Isteri pula akan membantu memelihara perbelanjaan keluarga.
Keadaan ini dijelaskan oleh al Qur'an , firman Allah yang mafhumnya:
"Dan kahwinlah orang orang yang bersendirian di antara kamu, dan orang orang yang layak (berkahwin) daripada hamba hamba sahayamu yang laki laki dan perempuan. Kka mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnianya. Dan Allah Maha Luas (pemberian Nya) lagi Maha Mengetahui. " (An Nur: 32)
Undang undang keluarga pada dasarnya merangkumi perkara perkara berikut:
  1. Perkahwinan
  2. Perceraian
  3. Tanggungjawab membiayai keluarga
  4. Penjagaan anak anak
  5. Perpaduan di dalam keluarga di segi kebendaan
1. Perkahwinan
1.1 Maksud dan Hukum Perkahwinan
Perkahwinan atau nikah menurut bahasa adalah berkumpul dan bercampur. Menurut istilah syara'; ijab qabul ('aqad) yang menghalalkan persetubuhan antara laki laki dan perempuan, yang diucapkan dengan kata kata yang menunjukkan nikah, menurut peraturan yang ditentukan oleh Islam.
Adapun hukum perkahwinan itu adalah seperti berikut:
1.1.1 Wajib
Berkahwin itu hukumnya wajib bagi orang yang mempunyai kesanggupan dan memenuhi syarat, serta khuatir dirinya akan jatuh dalam perzinaan. Alasannya ialah kerana menjaga diri dan menghindari perkara yang haram itu hukumnya wajib, sedang ini tidak mungkin tereapai kecuali denga berkahwin. Berkata Qurtubi :"Orang yang mampu dan kerana tidak berkahwin takut akan membawa bahaya pada diri atau agamanya, sedang hal itu tidak dapat diatasi kecuali dengan berkahwin, maka tidak ada pertikaian di antara 'ulama' bahawa ia wajib berkahwin."
1.1.2 Sunat
Adapun orang yang berkeinginan dan berkesanggupan tetapi ia dapat menjamin dirinya tidak akan tergelincir kepada perbuatan yang dilarang Allah, maka baginya hukum perkahwinan itu adalah sunat. Walau bagaimana pun adalah lebih baik ia berkahwin daripada hanya mengkhususkan dirinya dalam 'ibadat kerana pendetaan sama sekali tidak terdapat dalam ajaran Islam. Ibn 'Abbas pernah berkata: "Tidak tercapai kesempurnaan seseorang ber'ibadat sebelum ia kahwin lebih dahulu."
1.1.3 Haram
Diharamkan kahwin bagi orang yang akan mensia siakan pihak isteri mengenai nafkah lahir ataupun batin (hubungan kelamin) disebabkan kerana tidak mampu walaupun keinginannya ada. Berkata gurtubi: Vika seseorang laki laki mengetahui bahawa ia tidak mampu memberi nafkah atau membayar maskahwin kepada isterinya, atau memenuhi kewajipan kewajipannya yang lain, maka ia tidak boleh mengahwini perempuan sebelum hal itu dyelaskan kepada perempuan tersebut, atau diketahui bahawa ia tidak dapat memenuhinya."
1.1.4 Makruh
Bagi laki laki yang tidak marnpu melayani isteri dalam nafkah lahir atau batin, tetapi tidak pula mengecewakan isteri, mithalnya kerana isterinya itu adalah seorang yang kaya atau tidak begitu berhasrat untuk hubungan kelamin.
1.1.5 Mubah
Perkahwinan itu jatuh hukumnya menjadi mubah atau boleh jika tidak ada sebab sebab yang mewajibkan dan tidak ditemui halangan halangan yang merintanginya.
1.2 Tatacara Perkahwinan
1.2.1 Memilih calon
Islam mendorong laki laki memilih sebagai isterinya wanita yang saleh; begitu juga bagi wanita agar memilih suami daripada laki laki yang saleh. Ukuran kesalehan seseorang ialah taqwanya kepada Allah dan kemuliaan akhlaqnya. Di samping itu kekayaan, keturunan dan kedudukannya dalam masyarakat juga menjadi dasar penilaian.
Hadith hadith Rasulullah s.a.w menjelaskan perkara ini: Daripada Abu Hurairah Rasulullah s.a.w bersabda yang mafhumnya:
"Kahwinilahlah wanita itu kerana empat perkara, kerana hartanya, kerana keturunannya, kerana kecantikannya dan kerana agamanya, maka ambillah wanita yang ta'at kepada agama nanti kamu akan beruntung." (Bukhari, Muslim)
Daripada Abu Hurairah berkata Nabi s.a.w:
"Sesungguhnya dunia ini adalah harta benda, dan sebaik baik harta benda dunia iaLah wanita yang saleh." (Nasa'i, Muslim)
Daripada 'Abdullah ibn 'Amr berkata ia; bersabda Nabi s.a.w:
"Jangan kamu menikahi wanita itu kerana kecantikannya, sebab barangkali kecantikannya dapat merosakkannya, dan jangan pula kerana hartanya, sebab barangkali hartanya dapat menjadikannya derhaka, dan nikahilah wanita kerana agamanya, dan sesungguhnya hamba sahaya yang hitam dan rosak telinganya tetapi beragama adalah lebih baik." (Ibn Majah, Al Bazzar)
Daripada Anas berkata ia: "Adalah Nabi s.a.w menyuruh kami berkahwin, dan melarang kami membujang dengan larangan yang keras, Lantas beliau bersabda: 'Kahwinilah wanita yang banyak keturunan dan yang dicintai, kerana sesungguhnya aku akan bermegah megah dengan banyaknya umatku di Hari Kiamat." (Ahmad Ibn Hibban)
1.2.2 Meminang
Disunatkan meminang lebih dahulu bagi seseorang laki laki yang hendak menikahi wanita. Seorang muslim apabila berkehendak untuk berkahwin dan mengarahkan niatnya untuk meminang seseorang perempuan tertentu, diperbolehkan melihat perempuan tersebut sebelum mina melangkah ke jinjang perkahwinan, supaya dia dapat menghadapi perkahwinan itu dengan jelas dan terang dan supaya tidak tertipu. Ini adalah justru kerana mata merupakan duta hati; dan kemungkinan besar bertemunya mata dengan mata itu menjadi sebab dapat bertemunya hati dan berlarutnya jiwa.
Abu Hurairah mengatakan: "Saya berada di tempat kediaman Nabi s.a.w, tiba tiba ada seorang laki laki datang memberitahu bahawa dia akan kahwin dengan seorang perempuan Ansar, maka Nabi s. a. w bertanya: 'Sudah engkau lihat dia? Ia mengatakan belum, kemudian Nabi s. a. w mengatakan: Pergilah dan lihatlah dia, kerana dalam mata orang orang Ansar itu ada sesuatu." (Muslim)
Mughirah bin Syu'bah meriwayatkan, bahawa dia pernah meminang seorang perempuan. Kemudian Nabi s.a.w mengatakan kepadanya. "Lihatlah dia! Kerana melihatnya itu lebih dapat menjamin untuk mengekalkan kamu berdua."(Ahmad. Ibn Majah, Tarmidhi, Ad Darimi)
Dalam hadith Rasulullah s.a.w tidak menentukan batas ukuran yang boleh dilihat. Baginda hanya memberi panduan umum seperti sabdanya yang mafhumnya:
"Apabila salah seorang di antara kamu hendak meminang seseorang perempuan, kemudian dia dapat melihat sebahagian apa yang kiranya dapat menarik untuk mengahwininya, maka kerjakanlah." (Abu Dawud )
Jumhur 'ulama' berpendapat bahawa yang boleh dilihat oleh laki laki itu adalah muka dan kedua tapak tangan dan tidak boleh lain. Dengan melihat muka seseorang, akan diketahui kecantikan atau keburukannya, sedang daripada kedua tapak tangan akan diketahui pula subur badan atau tidaknya. Seandainya seorang laki laki telah melihat seorang wanita dan ia tidak berkenan kepada wanita itu, hendaklah ia menutup mulut dan tidak menceritakan sesuatu kepada orang lain agar wanita itu tidak tersinggung kerananya. Mungkin ia tidak berkenan, tetapi siapa tahu mungkin ada laki laki lain yang berkenan dan menyukainya.
Anjuran melihat calon teman hidup ini bukanlah hanya terbatas pada pihak laki laki sahaja, tetapi juga bagi pihak perempuan. la berhak juga untuk melihat calon suaminya. Perlu diingat bahawa Islam tetap melarang laki laki dan perempuan itu berdua duaan walaupun telah bertunang. Oleh kerana itu perempuan tersebut tetap haram bagi tunangnya sampai dilangsungkan 'aqad nikah.
Rasulullah s.a.w bersabda yang mafhumnya:
"Jangan seorang laki laki bersendirian dengan seorang wanita yang tidak halal baginya, kerana pihak yang ketiganya adalah syaitan, kecuali bila ada mahramnya." (Ahmad)
1.2.3 Menentukan Mahar
Mahar atau maskahwin disebut juga sebagai sidaq, nihlah dan faridah. Menurut istilah syara', mahar adalah sesuatu yang diberikan oleh laki laki kepada isteri sebagai tukaran atau jaminan bagi sesuatu yang akan diterimanya daripada diri isterinya itu.
Mahar itu adalah hak isteri. Banyak sedikitnya mahar itu tergantung kepada kehendak atau kemahuan isteri. Sebaliknya apabila isteri tidak menuntut apa apa, maka hilanglah wajib memberinya. Kalau isteri itu senang hatinya dengan tidak perlu lagi pembayarannya, maka mahar itu boleh diambil atau digunakan sendiri.
Firman Allah yang mafhumnya:
"Dan berikanlah kepada perempuan itu mahar mereka sebagai pemberian, maka apabila mereka berbaik hati kepadamu (rela hati) tentang sesuatu yang kamu berikan itu, maka makanlah olehmu harta itu secara senang hati pula." (An Nisa': 4)
Bentuk mahar adalah terpulang kepada ketentuan pihak wanita. Mungkin ia berupa matawang, barangan, dengan bakal suami memeluk Islam, bahan makanan, dengan memerdekakan, ataupun dengan mengajarkan ayat ayat al Qur'an yang telah dihafal kepada bakal isteri.
Syari'at tidak memberi ketentuan terhadap banyak atau sedikit mahar, ini adalah kerana manusia itu berbeza beza dalam kekayaan atau kemiskinan, lapang atau susah, apatah lagi bagi tiap daerah ada 'adat dan kebiasaan masing masing. Maka ia memberikan kebebasan tanpa pembatasan, agar masing masing memberikannya menurut kemampuannya sesuai dengan keadaan dan 'adat kebiasaan lingkungannya.
1.2.4 Ijab Qabul
Perkara yang menjadi pokok utama perkahwinan itu ialah kesediaan dan persetujuan kedua pihak untuk menjalin hubungan antara mereka. Kesediaan dan persetujuan ini memestikan wujudnya pengungkapan yang menyatakan kebulatan tekad untuk menjalin dan mengadakan hubungan tersebut. Ini dilakukan dengan ucapan yang dikeluarkan daripada pihak pertama yang memadu janji. Maka ucapan yang mula mula keluar daripada pihak pertama untuk menyatakan keinginannya untuk mengadakan hubungan perkahwinan itu dikatakan ijab. Sedang ucapan yang menyusul setelah itu daripada pihak kedua yang menyatakan kesediaan dan persetujuannya disebut qabul.
Perkahwinan atau 'aqad nikah itu berlangsung jika dilakukan dengan kata kata yang mengandungi maksud tersebut, dan disampaikan dengan bahasa yang sama sama difahami oleh kedua dua belah pihak, iaitu; jika penyampaian kedua mereka itu betul betul menyatakan maksud perkahwinan tanpa samar samar atau keraguan.
1.2.5 Walimatul Arus
Walimah di segi bahasanya bererti berkumpul. Ini adalah kerana pada waktu itu berkumpulnya suami isteri. Di segi istilah walimah juga khusus bererti makan dalam acara .pesta perkahwinan. Jumhur 'ulama' berpendapat hukumnya adalah sunnah mu'aqqadah dengan dalil dalil berikut:
Daripada Anas, ia berkata yang mafhumnya: "Rasulullah s.a.w mengadakan walimah dengan seekor kambing untuk isteri isterinya dan untuk Zainab."(Bukhari, Muslim)
Daripada Buraidah, ia berkata: "Ketika 'Ali melamar Fatimah, Rasulullah s. a. w bersabda: "Sesungguhnya harus untuk pesta perkahwinan ada walimahnya."(Ahmad)
Tujuan diadakan walimah adalah untuk mengisytiharkan pernikahan kepada orang ramai serta untuk menggembirakan hati kedua pengantin. Mengikut ajaran Nabi s.a.w, hendaklah pernikahan itu diisytiharkan secepat mungkin dan diraikan dengan apa sahaja; umpamanya dengan paluan gendang atau nasyid. Sesudah pernikahan maka disunatkan mengadakan walimah atau kenduri, sebagai tanda kegembiraan.
Apabila seseorang mengadakan walimah menyambut perkahwinan, makruh menghadkan jemputan itu kepada orang ternama atau orang orang kaya sahaja dengan menyisihkan orang orang miskin. Daripada Abu Hurairah, bersabda Rasulullah s.a.w yang mafhumnya:
"Makanan yang paling kurang berkahnya adalah makanan walimah yang dipanggil kepada orang orang yang mampu sahaja dan ditinggalkan orang orang yang miskin." (Bukhari, Muslim)
Apabila seseorang itu dijemput untuk menghadiri walimah 'urus, maka wajiblah ia menghadirinya, seandainya tidak ada sebarang keuzuran baginya. Ini adalah berpandukan kepada. firman Allah yang mafhumnya:
"Apabila kamu diundang maka masuklah, dan apabila kamu telah selesai makan maka cepatlah keluar." (Al Ahzab: 52)
1.3 Hak dan Kewajipan sebagai Suami Isteri
Pergaulan dalam rumah tangga antara suami isteri hendaklah diliputi rasa tasamuh dan bantu membantu.
Firman Allah yang mafumnya:
"Hai orang orang yang beriman, tidaklah boleh bagi kamu mempusakai perempuan perempuan dengan paksa, dan janganlah kamu menyusahkan mereka itu, kerana hendak mengambil kembali sebahagian daripada apa yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali jika mereka terang terang melakukan perbuatan keji." (Al-Nisa': 19)
Di antara suasana suasana yang perlu diwujudkan dalam kehidupan rumah tangga adalah seperti berikut:
  1. Saling cinta menyintai dan hidup rukun dan damai
  2. Saling setia, memberikan hati dan jiwa raga kepada teman hidupnya
  3. Hormat menghormati dan harga mengharga pendirian dan pendapat masing masing
  4. Mencari persesuaian prinsip hidup dan faham memahami jiwa masing masing
  5. Memahami tabi'at dan watak masing masing
  6. Saling ma'af mema'afkan
  7. Percaya mempercayai dan bukan curiga mencurigai
  8. Masing masing tahu kewajipan dengan penuh tanggungjawab terhadap kebahagiaan rumah tangga
  9. Saling bantu membantu
Dalam perkara ini hubungan suami isteri mewujudkan tiga bentuk hak kerwajipan.
  1. Hak hak bersama kedua suami isteri
  2. Hak hak isteri yang wajib dipenuhi oleh suami
  3. Hak hak suami yang wajib dipenuhi oleh isteri
1.4 Hak hak Bersama Kedua Suami Isteri
  1. Halal pergaulan sebagai suami isteri, dan kesempatan saling meni'mati antara satu sama lain. Ini adalah merupakan hak bersama suami isteri, dan tidak akan mendapat tercapai kecuali dengan kerjasama antara mereka, di mana yang satu memerlukan yang lain.
  2. Sucinya hubungan perbesanan, ertinya isteri haram bagi pihak bapa bapa suami, datuk datuknya dan anak anaknya. Begitu juga suami haram bagi pihak ibu ibu daripada isteri. dan anak anak perempuan isteri. Demikianlah juga bagi cabang cabang daripada anak anak laki laki dan anak anak perempuan daripada keduanya.
  3. Berlakunya hak pusaka mempusakai di antara keduanya. Jika salah seorang daripada mereka meninggal dunia maka yang lain berhak mewarisinya, walaupun mereka belum bercampur setelah berlakunya 'aqad tersebut.
  4. Sah menasabkan anak kepada suami yang jadi teman setempat tidur.
  5. Perlakuan dan pergaulan yang baik. Menjadi kewajipan bagi masing masing pihak untuk menggauli yang lain dengan baik, sehingga rumah tangga mereka akan diliputi suasana rukun dan damai serta selamat sejahtera. Firman Allah yang mafhumnya:
"Dan gaulilah olehmu isteri isteri itu dengan baik." (Al Nisa': 19)
1.5 Hak hak Isteri
1.5.1 Hak hak dalam Bentuk Kebendaan
Ini adalah dalam bentuk hak isteri untuk menerima mahar dan nafkah. Ini bererti bahawa mahar itu adalah hak isteri dan bukan hak keluarga. Kerana itu Wang daripada mahar tidak boleh digunakan untuk membeli alat alat rumah atau perabut oleh pihak keluarga seandainya isteri tidak merelakannya. Peralatan rumah adalah tanggungjawab suami dan bukannya kewajipan isteri.
Hak isteri juga adalah untuk mendapat nafkah daripada suaminya. Nafkah ini termasuklah pakaian dan makan minum serta tempat tinggal yang layak dan sesuai dengan kesanggupan suami. Termasuk haknya juga ialah tanggungan anak anak adalah berada pada pihak suami, seperti firman Allah yang mafhumnya:
"Dan para ayah wajib memberi nafkah kepada para ibu dan memberi pakaian mereka dengan baik." (Al Baqarah: 233)
Rasulullah s.a.w bersabda kepada Hindun yang mafhumnya;
"Ambillah daripada Abu Sufian itu seberapa yang cukup untuk nafkahmu dan nafkah anak anakmu dengan baik."
Termasuk hak isteri adalah untuk mendapat pembantu rumah atau penolong seandainya ia berhajat kepada pembantu. Hukum ini disepakati oleh para imam mujtahidin.
1.5.2 Hak hak Bukan Kebendaan
1. Perlakuan yang Baik
Kewajipan suami terhadap isteri ialah menghormatinya, bergaul dengan baik, memperlakukan dengan wajar mendahulukan kepentingannya yang memang patut didahulukan untuk melunakkan hatinya dan bersabar terhadapnya. Firman Allah yang mafhumnya:
"Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) kerana mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak." (Al-Nisa': 19)
Rasulullah s.a.w bersabda yang mafhumnya:
"Ingatlah, terimalah pesanku untuk berbuat baik kepada para isteri. Isteri isteri itu hanyalah temanmu yang berada di sampingmu, kamu tidak dapat memiliki apa apa daripada mereka selain berbuat baik, kecuali kalau isteri isteri itu melakukan perbuatan keji yang jelas maka tinggalkanlah mereka sendirian di tempat tidur dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai. Kalau isteri isteri itu ta'at kepadamu maka janganlah kamu mencari jalan untuk menyusahkan mereka." (Tarmidhi)
Rasulullah s.a.w bersabda yang mafhumnya:
"Berwasiatlah engkau semua kepada kaum wanita dengan baik, sebab sesungguhnya wanita itu dibuat daripada tulang rusuk dan sesungguhnya bengkok tulang rusuk ialah bahagian teratas sekali. Maka jikalau engkau cuba meluruskannya maka engkau akan mematahkannya dan jikalau engkau biarkan sahaja, maka ia akan tetap bengkok seZamalamanya. Oleh itu, maka berwasiatkan yang balk baik kepada kaum wanita itu." (Bukhari, Muslim)
Sabda Rasulullah s.a.w yang mafhumnya:
"Sesempurnanya kaum mu'minin terhadap keimanannya ialah yang terbaik budipekertinya di antara mereka itu dan yang terbaik di antara kaum mu'minin itu ialah yang terbaik sifatnya terhadap kaum wanitanya." (Tarmidhi)
2. Menjaganya dengan Baik
Suami wajib menjaga isterinya, memeliharanya daripada segala sesuatu yang menodai kehonnatannya, menjaga harga dirinya, menjunjung kemuliaannya dan menjauhkannya daripada pembicaraan yang tidak balk. Semua ini merupakan tanda daripada sifat cemburu yang disenangi oleh Allah.
Sabda Rasulullah s.a.w yang mafhumnya:
"Sesungguhnya Allah mempunyai rasa cemburu. Dan sesungguhnya seorang mu'min mempunyai rasa cemburu pula. Dan rasa cemburu Allah iaitu supaya seseorang hamba tidak melakukan perbuatan haram." (Bukhari )
3. Mendatangi Isteri
Kebanyakan 'ulama' berpendapat bahawa suami wajib mengumpuli isterinya paling sedikitnya satu kali setiap bulan jika ia mampu. Kalau tidak, bererti ia durhaka terhadap Allah. Kerana dalam hal ini Allah berfirman
"Bila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu." 34
1.6 Hak hak Suami
1.6.1 Sebagai Pemimpin dalam Keluarga
Kepimpinan dalam keluarga berada di tangan suami dan ini memang wajar. Kepimpinan ini perlu di kala terjadinya persengkataan dan perselisihan. Kaum wanita tidak sesuai memegang peranan ini kerana wanita tidak dapat menguasai keadaan seperti laki laki. Kepimpinan ini bukanlah bertujuan untuk menguasai wanita, tetapi adalah berdasarkan kasih sayang.
Firman Allah yang mafhumnya:
"Laki laki itu menjadi pemimpin kaum wanita, sebab Allah melebihkan setengah mereka dan kerana laki laki itu memberi.kan belanja daripada hartanya kepada wanita." (Al-Baqarah: 222)
1.6.2 Dita'ati dan Dihormati
Antara hak suami adalah untuk dita'ati dan dihormati oleh isterinya, ini adalah wajar dengan kedudukannya sebagai pemimpin rumah tangga. Isteri isteri yang ta'at pula adalah wanita wanita yang saleh, tekun ber'ibadat, ta'at kepada Allah, memelihara diri pada waktu suaminya tidak. ada di rumah, memelihara apa yang mesti dipelihara terutama dirinya dan harta benda suaminya.
1.7 Poligami
1.7.1 Kedudukan Poligami
Di antara hak suami, ialah suami boleh mengambil wanita lain sebagai isterinya tidak melebihi empat orang serentak asalkan yakin boleh berlaku 'adil. Poligami ini diakui oleh al Qur'an, Sunnah Nabi s.a.w dan oleh para fuqaha' serta tidak ada yang menentang ketentuan ini di kalangan umat Islam. Firman Allah yang mafhumnya:
"Jika kamu takut tidak berlaku 'adil terhadap (hak hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengahwininya), maka kahwinilah wanita wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku 'adil, maka (kahwinilah) seorang sahaja, atau budak budak yang kamu miliki. Yang demikfan itu adalah lebfh dekat kepada tidak berlaku aniaya." (A1 Nisa: 3)
Poligami hukumnya tidak wajib dan tidak sunat, hanya merupakan kebolehan yang bererti boleh dikerjakan dan boleh juga tidak. Dalam pelaksanaannya, ia bergantung kepada individu; sekiranya ia merasakan itu baik dilaksanakan maka baiklah baginya untuk melaksanakannya. Tetapi jika dikhuatiri akan membawa kerosakan maka lebih utama ia meninggalkannya. Dalam hal ini tidak ada alasan yang memestikannya terlebih dahulu meminta izin hakim atau pendapat orang lain, kerana ini adalah termasuk masalah peribadi manusia.
1.7.2 Hikmah Poligami
Islam adalah hukum Allah yang terakhir yang dibawa oleh Nabi yang terakhir pula. Oleh itu ia datang membawa undang undang yang lengkap, abadi dan 'alamiyyah. Hukumnya berlaku untuk semua daerah, semua masa dan semua manusia. Islam tidak membuat hukum yang hanya berlaku untuk orang kota dan melupakan orang desa, untuk daerah dingin dan melupakan daerah panas, untuk satu masa tertentu dan melupakan masa masa yang lain. Tetapi Islam menentukan ukuran kepentingan individu dan masyarakat, dan menentukan ukuran kepentingan dan kemaslahatan manusia seluruhnya. Islam tidak menetapkan sebab sebab tertentu yang membolehkan seseorang laki laki untuk berpoligami. Tetapi terdapat di sana beberapa keadaan yang mendorong kepada poligami, di antaranya
  1. Perkahwinan pertama yang tidak menghasilkan anak
  2. Isteri pertama sakit yang memerlukan seseorang lain menguruskannya dan suaminya.
  3. Ada sebab sebab tertentu yang menghalang ia daripada memuaskan suaminya di segi hubungan kelamin.
  4. Keadaan keadaan tertentu di mane terdapat terlalu ramai wanita, terutama selepas terjadinya peperangan.
Al Qur'an menjelaskan yang mafhumnya:
"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku 'adil terhadap (hak hak) perempuan yang yatim (biIamana kamu mengahwininya), maka kahwinilah wanita wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berLaku 'adil, make (kahwinilah) seorang sahaja, atau budak budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah Lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya." (A1 Nisa': 3)
"Kamu tidak akan sanggup untuk berLaku 'adii di antara wanita wanita itu, walaupun kamu ingin sekali untuk melaksanakan ke'adilan itu; oleh sebab itu janganlah kamu condong kepada salah seorang di antaranya sehingga menyebabkan yang lain seperti tergantung. Dan kalau kamu berusaha untuk berbuat baik dun bertaqwa kepada Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al-Nisa': 129)
Ayat di atas menyimpulkan beberapa perkara berikut:
  1. Poligami boleh dilaksanakan sampai empat isteri. Perkataan "menikahlah kamu", walaupun berbentuk perintah, namun maksudnya hanyalah mengatakan boleh dun bukan maksud wajib.
  2. Poligami itu dilaksanakan dengan syarat berlaku 'adil di antara isteri isteri. Barangsiapa merasa khuatir akan tidak berlaku 'adil, maka ia hanya boleh menikah dengan seorang sahaja. Dan kalau ia menikah juga, maka 'aqadnya sah, tetapi ia berdosa dalam perbuatannya yang tidak 'adil itu. 'Ulama' sependapat apa yang dikatakan sebagai 'adil itu adalah dalam soul kebendaan, seperti tempat tinggal, pakaian, makanan, minuman dun waktu bermalam dan segala yang berhubung dengan pergaulan suami isteri. Semua Imam Imam mazhab yang empat setuju bahawa membahagi malam dengan 'adil di kalangan isteri adalah wajib, tetapi tidak wajib untuk menyama banyakkan jima', ia hanya sunat hukumnya.
  3. Ayat al Qur'an di atas memberi pengertian adanya syarat kemampuan untuk memberi nafkah kepada isteri yang kedua, dun selanjutnya anak anaknya. Imam Syafi'i berkata: ' Dan perkataan maksudnya agar kamu jangan sampai mempunyai keluarga yang terlalu banyak sehingga di luar daripada kemampuan kamu.
  4. Ayat yang kedua memberi pengertian bahawa 'adil dalam masalah cinta adalah suatu hal yang tidak mungkin. Suami hanya diperintahkan supaya jangan terlalu condong kepada salah seorang di antara isteri isterinya, sehingga membiarkan yang lain tergantung; seperti tidak dinikahi dan tidak diceraikan. Jadi suami wajib bergaul dengan isterinya yang tidak begitu dicintainya itu dengan rasa lemah lembut dan berbuat balk sedaya upayanya, mudah mudahan perlakuannya itu akan membaikkan hati isterinya dan menimbulkan kasih sayangnya.
2. Perceraian
Allah menetapkan talaq sebagai suatu cara bagi menyelesaikan perselisihan antara suami isteri, di saat tidak ada lagi cara lain yang dapat mengatasinya.
Talaq ertinya melepaskan. Menurut istilah syara' bererti: Melepaskan ikatan pernikahan dengan kata kata atau lafaz yang menunjukkan talaq. Talaq adalah satu perbuatan yang halal dilakukan menurut agama, tetapi perbuatan itu tidak disukai oleh Allah, sebab ia memutuskan kasih sayang.
Finnan Allah yang mafhumnya:
"Dan jika kamu (suami isteri) bercerai, Allah akan melapangkan hidup masing masing dan adalah Allah itu Maha Luas PengurniaanNya dan Maha Bijaksana." (Al Nisa': 130)
Sabda Rasulullah s.a.w yang mafhumnya: "Perbuatan halal yang dimurkai Allah ialah talaq" (Abu Dawud, AI Hakim)
2.2 Jenis jenis Talaq
laitu talaq di mana suami masih dapat meruju' kembali dengan bekas isterinya tanpa memerlukan 'aqad baru, asalkan isteri masih dalam 'iddah seperti talaq satu dan dua. Ini berlandaskan kepada firman Allah yang mafhumnya:
"Talaq (yang dapat diruju') dua kali. Setelah itu boleh ruju' dengan cara yang ma'ruf atau talaq dengan cara yang ma'ruf." (Al Baqarah: 229)
2.2.2 Talaq Ba'in
Iaitu talaq yang suami tidak boleh ruju' kembali dengan bekas isteri melainkan mesti dengan 'aqad baru. Talaq ba'in terbagi kepada dua.
i. Talaq Ba'in Sughra
Jenis jenis talaq ba'in sughra ialah:
i. Talaq sebelum Jima'
Keadaan ini terus memutuskan pertalian antara keduanya, ini adalah kerana isteri tidak mempunydi 'iddah sebagai syarat kepada talaq raj'i.Ini berdasarkan kepada dalil:
"Hai orang orang yang beriman, apabila kamu menikahi wanita wanita yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu campurinya maka sekali kali tidak wajib atas mereka 'iddah yang kamu minta menyempurnakannya." (Al Ahzab: 49)
ii. Talaq melalui Khulu'
Talaq ini adalah perceraian yang diminta oleh isteri daripada suami dengan memberikan wang atau lain lain kepada suami. Talaq ini juga dinamakan talaq yang ditebus oleh isteri terhadap suami kerana ada beberapa hal yang tidak menyenangkan isteri terhadap suami.
Firman Allah yang mafhumnya:
"Dan tidak halal bagimu mengambil sesuatu daripada barang yang telah kamu berikan kepada isteri. Kecuali apabila keduanya khuatir bahawa mereka tidak dapat melakukan peraturan Allah. Maka apabila kamu khuatir bahawa keduanya tidak dapat melakukan aturan Allah, maka tidaklah berdosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya."(Al -Baqarah: 229)
iii. Talaq melalui Fasakh
Talaq ini adalah merupakan keputusan yangdilakukan oleh qadi dengan syarat syarat dan sebab sebab tertentu tanpa ucapan talaq. Beza antara khulu' dan fasakh adalah; khulu' diucapkan oleh suami sendiri dengan ia menerima wang tebusan daripada isteri, ataupun isteri mengembalikan mahar kepada suaminya untuk mengakhiri ikatan sabagai suami isteri. Sedangkan fasakh diucapkan oleh qadi setelah isteri mengadu kepadanya, dengan memulangkan maharnya kembali.
iv. Talaq melalui Ila'
Ila' ertinya sumpah suami bahawa ia tidak akan mencampuri isterinya dalam masa empat bulan atau lebih, atau tidak menyebut masa. Apabila seseorang bersumpah sebagai sumpah yang tersebut itu, hendaklah ditunggu sampai empat bulan. Kalau ia kembali kepada isterinya sebelum sampai empat bulan, dia wajib dikenakan bayaran kiffarah sahaja. Tetapi kalau sampai empat bulan dia tidak juga kembali baik dengan isterinya, hakim berhak menyuruh dia memilih antara dua perkara membayar kiffarah sumpah serta kembali berbaik dengan isterinya, atau mentalaqkan isterinya. Kalau suami tidak mahu menjalankan salah satu daripada dua perkara ini, hakim berhak menceraikan isterinya dengan paksa. Sebahagian 'ulama' berpendapat, apabila sampai empat bulan suami tidak kembali mencampuri isteri, dengan sendirinya kepada isteri itu dijatuhkan talaq ba'in, tidak perlu dikemukakan kepada hakim.
v. Habis Tempoh 'Iddah
Talaq Raj'i yang Habis Tempoh 'Iddahnya
2. Talaq Ba'in Kubra.
Jenis jenis talaq ba'in kubra ialah:
i. Tala Selepas Selesai Tiga Talaq
Laki laki tidak boleh ruju', tidak sah kahwin lagi dengan bekas isterinya itu, kecuali apabila bekas isterinya itu sudah bernikah dengan orang lain, ser ta sudah dicampuri dan sudah dicerai dan telah habis 'iddahnya, barulah suami pertama boleh menikahinya kembali.
Firman Allah yang mafhumnya:
"Apabila suami telah ceraikan isterinya (tiga kali), maka itu tidaklah halal lagi isterinya itu, sebelum isterinya itu kahwin dengan orang lain terlebih dahulu." (Al-Baqarah: 230)
Li'an ialah ucapan tertentu yang digunakan untuk menuduh isteri telah melakukan perbuatan zina sebagai alasan suami menolak anak. Tuduhan zina tanpa empat saksi dapat dikenakan hukuman hudud; iaitu lapan puluh kali sebat. Hukuman ini tetap juga berlaku terhadap suami yang menuduh isterinya melakukan zina.
Tetapi hukuman ini tertolak dengan salah satu jalan; sama ada mengemukakan empat orang saksi laki laki, ataupun melakukan li'an. Firman Allah yang mafhumnya:
"Dan orang orang yang menuduh isteri isteri mereka, padahal tidak ada saksi saksi bagi mereka, kecuali diri diri mereka sendiri, maka persaksian seorang daripada mereka ialah empat kalf persaksian dengan nama Allah, bahawa ia daripada orang orang yang benar. Dan yang kelima bahawa la'nat Allah atas dMnya jika adalah ia daripada orang orang yang dusta." (Al Nur: 6-7 )
Talaq melalui li'an tidak dapat diruju', bekas suami tidak boleh berkahwin lagi dengan wanita tersebut buat selamalamanya. Inilah pendapat sebahagian besar 'ulama' Islam.
2.3 Prinsip prinsip Islam dalam Masalah Talaq
Pertama sekali Islam mengajak suami isteri supaya menyedari tanggungjawab mereka antara satu sama lain dan juga terhadap anak anak mereka di hadapan Allah. Hendaklah mereka sentiasa bersabar dan ma'af mema'afkan kesalahan antara satu sama lain. Hendaklah mereka selalu bersegera untuk menyelesaikan perselisihan yang berlaku di antara mereka. Tetapi jika perselisihan itu berterusan, maka Islam telah menetapkan beberapa prinsip berlandaskan firman Allah yang mafhumnya:
"Wanita wanita yang kamu khuatiri nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta'atimu maka janganlah kamu mencari cari jalan untuk menyusahkannya, sesungguhnya Allah Maha Tinggi dan Maha Besar. " (AI Nisa': 34)
Berdasarkan kepada ayat di atas, prinsip prinsip talaq adalah seperti berikut:
2.3.1 Menasihati
Hendaklah isteri itu dinasihati terhadap kesalahan kesalahannya. Jangan suami segera melakukan tindakan tindakan yang tidak wajar atau terbawa bawa oleh perasaan marah. Dengan nasihat nasihat ini diharap isteri dapat menyedari kesalahan kesalahannya serta cuba memperbaiki dirinya.
2.3.2 Memisahkan Isteri dari Tempat Tidur
Sekiranya setelah diberi nasihat, masih lagi isteri tidak mahu merubah keburukannya, maka swami perlulah memisahkannya dari tempat tidur. Menurut Ibn 'Abbas memisah diri daripada isteri di tempat tidur ini adalah dengan memalingkan muka daripada isteri di tempat tidur.
2.3.3 Memukul
Sesudah dua pengajaran di atas isteri masih juga derhaka, suami berhak memukulnya, tapi tidak sampai menyakitinya. Rasulullah s.a.w mengizinkan tindakan ini kerana terdapat sebahagian wanita yang tidak dapat diubah melainkan dengan sedikit kekerasan.
2.3.4 Tahkim
Jika perselisihan berterusan maka hendaklah dicari penyelesaiannya melalui tahkim, sesuai dengan firman Allah yang mafhumnya:
"Dan jika kamu ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang pendamai daripada keluarga laki laki dan seorang pendamai daripada keluarga wanita. Jika kedua orang pendamai itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufiq kepada suami isteri itu." (Al Nur: 6-7 )
2.3.5 Menjatuhkan Talaq
Maka apabila tahkim juga gagal,sedang pihak suami tidak menghendaki perkahwinan itu lagi, maka janganlah ia terlalu mengikuti kemarahannya dalam menjatuhkan talaq. Tetapi hendaklah ia menjatuhkan talaq mengikut cara berikut:
  1. Suami mentalaqkan isteri dalam keadaan isteri itu suci dan tidak dicampuri selepas suci tersebut. Apabila suami menceraikan isteri dalam keadaan begini, ini bererti suami memang tidak senang terhadap isteri, dan dengan demikian terdapatlah alasan yang kuat untuk menj atuhkan talaq.
  2. Talaq yang dijatuhkan adalah talaq satu atau talaq raj'i, di mana suami masih dapat meruju' isterinya selagi masih dalam 'iddahnya lagi. Dalam syari'at Islam, wanita yang ditalaq wajib tetap tinggal di rumah suaminya selama dalam masa 'iddah. Dia diharamkan keluar dari rumah, dan suami diharamkan mengeluarkan bekas isterinya itu dari rumah tanpa sesuatu alasan yang dapat dibenarkan. Firman Allah yang mafhumnya:

    "Dan takutlah karnu kepada Allah, Tuhanmu. Jangan karnu usir mereka itu dari rumah rumah mereka dan jangan sampai mereka itu keluar rumah, kecuaii apabila mereka berbuat kejahatan dengan terang terangan; dan yang dernikian itu adalah Batas Batas ketentuan Allah, dan barangsiapa melanggar hukurn hukum Allah maka sungguh dia telah berbuat zalim pada dirinya sendiri; karnu tidak tahu barangkali Allah akan mengadakan hal baru sesudah itu." (At-Talaq: 1)
  3. Apabila masa 'iddah telah habis, suami tidak boleh lagi ruju' isterinya. Sekiranya suami merasa menyesal dan ingin kembali kepada isterinya, maka suami perlu meminta kesediaan isterinya dan ini dapat dilaksanakan dengan 'aqad nikah dan mahar yang baru.
  4. Apabila suami mengulangi talaq itu sampai dua kali dengan cara yang telah disebutkan di atas, kemudian diceraikan untuk kali yang ketiga, maka dalam keadaan ini suami tidak berhak lagi kembali kepada bekas isterinya kecuali setelah melalui syarat syarat yang berat, iaitu isteri wajib menghabiskan 'iddahnya kemudian berkahwin dengan laki laki lain dalam bentuk perkahwinan yang sah. Setelah bercampurnya mereka sebagai suami isteri dan berlaku perceraian, sama ada kematian suami atau talaq. Apabila wanita ini telah selesai 'iddahnya, barulah suami pertama boleh kembali mengahwini bekas isterinya dengan 'aqad nikah dan mahar yang baru. Firman Allah yang mafhumnya:
    "Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanyaa (bekas suami pertama dan isteri) untuk kahwin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum hukum Allah. Itulah hukurn hukum Allah, diterangkan Nya kepada kaurn yang (mahu) mengetahui." (Al Baqarah: 230)
Inilah cara talaq yang ditetapkan oleh syara', cara ini dinamakan talaq sunni, selain daripada ini adalah talaq bid'i.
Di antara talaq bid'i itu ialah:
  1. Mentalaq isteri waktu isteri dalam haid
  2. Mentalaq isteri dalam keadaan nifas
  3. Mentalaq isteri di waktu isteri telah suci daripada haid atau nifas, tetapi telah dicampuri
  4. Mentalaq isteri dengan mengeluarkannya dari rumah
Talaq yang tersebut di atas haram. Tetapi tetap jatuh talaq di segi hukumnya.
2.4 'Iddah
'Iddah adalah nama bagi jangka masa menunggu bagi seseorang wanita dalam mana ia tidak boleh bernikah, selepas kematian suaminya atau setelah dijatuhkan talaq. 'Iddah ini bertujuan untuk mengetahui bersihnya rahim seseorang wanita sesudah ditinggal mati atau ditalaq oleh suaminya. Apabila isteri telah ditalaq oleh suaminya, wanita itu tidak boleh dipinang atau dinikahi, kecuali sesudah habis 'iddahnya.
3. Tanggungjawab Membiayai Keluarga (Nafkah)
Nafkah ertinya mengeluarkan belanja. Menurut istilah syara', ertinya sesuatu yang dikeluarkan oleh seseorang untuk keperluan dirinya dan keluarganya atau lain lain. Nafkah ini adalah dalam bentuk makanan, minuman, pakaian dan sebagainya. Perkara yang mewajibkan nafkah adalah kerana; perkahwinan, sebab kerabat dan sebab milik.
Firman Allah yang mafhumnya:
"Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah daripada harta yang diberi Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan kepada seseorang sesuatu beban melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberi kelapangan sesudah kesempitan." (Al-Talaq: 7)
Bentuk bentuk pemberian nafkah adalah seperti berikut:
3.1 Sebab Perkahwinan
Nafkah merupakan kewajipan suami terhadap isterinya, ertinya isteri berhak untuk memperolehi nafkah. Syarat wanita berhak menerima nafkah adalah sebagai berikut:
  1. Ikatan perkahwinannya sah
  2. Menyerahkan dirinya kepada suaminya
  3. Suaminya dapat meni'mati dirinya.
  4. Tidak menolak apabila diajak pindah ke tempat yang dikehendaki oleh suami
  5. Kedua duanya saling dapat meni'mati
3.2 Sebab Kerabat
Nafkah ini adalah tanggungjawab laki laki yang memimpin keluarga terhadap kerabatnya yang miskin dan yang meminta pertolongan. la didahulukan dengan ibu bapa dan kemudian seterusnya menurut keterangan yang dijelaskan oleh Rasulullah s.a.w yang mafhumnya:
"Tangan yang memberi itu lebih mulia, dan mulailah memberi dengan orang yang wajib bagimu menanggung nafkahnya; iaitu ibumu, bapamu, saudara saudaramu yang perempuan dan saudarasaudaramu yang laki laki, kemudian orang yang terdekat hubungannya denganmu dan yang dekat pula seterusnya." (Nasa i)
3.3 Sebab Milik
Hamba laki laki atau hamba perempuan, wajib diberi makan dan minum, dan tidak boleh diberati dengan kerja, melainkan sesuai menurut kemampuannya.
Sabda Rasulullah s.a.w yang mafhumnya:
"Hak bagi hamba adalah diberi makannya dan pakaiannya dan tidak boleh diberati bekerja melainkan sekadar kesanggupannya." (Muslim)
4. Penjagaan Anak-anak (Hadanah)
4.1 Anak anak dalam Syari'at Islam
Anak anak adalah salah satu daripada tujuan perkahwinan. Tanggungjawab ibu bapa terhadap anak anak amat besar sekali.
Rasulullah s.a.w bersabda yang mafhumnya:
"Semua kamu adalah pengembala dan semua kamu akan bertanggung jawab terhadap yang digembalakannya ...." (Bukhari)
Tanggungjawab ini bermula sejak awal awal lagi, malahan sebelum anak itu dilahirkan. Ini adalah kerana Islam menuntut laki laki dan wanita memilih teman hidup daripada orang orang yang saleh. Kemudian mereka diajar untuk sentiasa berdo'a agar dikurniakan anak anak yang saleh.
Termasuk dalam tanggungj awab ini ialah untuk menamakan anakanak dengan nama nama yang baik, menguruskan keperluannya, menjaganya daripada sesuatu yang merusakkannya dan mendidik jasmani, rohani dan 'aqalnya agar mampu berdikari menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.
4.2 Penyusuan Anakanak.
Bayi berhak menyusu susu ibunya selepas ia dilahirkan. Ibu pula bertanggung jawab untuk menyusukan anaknya jika tidak ada wanita lain yang akan mengambil alih tugas itu, atau jika bayi itu tidak mahu menyusu dengan orang lain, atau jika ayah anak tadi tidak mempunyai cukup harta untuk memberi upah wanita lain yang akan menyusukan bayi tersebut. Al Qur'an memerintahkan penyusuan seperti berikut yang mafhumnya:
"Para ibu hendaklah menyusukan anak anaknya selama dua tahun penuh, iaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajipan ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan kerana anaknya, dan warisnya pun berkewajipan demikian." (Al-Baqarah: 233)
Dalam mazhab Syafi'i, 'ulama' menetapkan bahawa ibu wajib menyusukan anaknya dengan air susu yang terjadi sebaik sahaja lahirnya anak, ini adalah kerana anak akan menjadi kuat dengan meminum susu permulaan itu. Adapun pada hari hari berikutnya, maka ibu tidak lagi wajib menyusukan anaknya itu, sama ada ia masih lagi isteri atau yang telah ditalaq.
Jelasnya ayat ini tidak mewajibkan penyusuan anak selama dua tahun kerana anak itu boleh diceraikan sebelum sampai masanya dua tahun. Tetapi apa yang penting dengan tempoh masa yang agak lama ini adalah kerana susu ibulah yang merupakan sumber makanan yang paling sihat dan yang paling berkhasiat untuk pertumbuhan seseorang bayi. Sehinggakan dengan itu Islam telah mengizinkan anak itu disusui oleh wanita lain, dan sekali gus telah menjadikan wanita itu sebagai mahram bagi anak tersebut. Telah dibuktikan tidak ada lagi makanan bayi yang dapat menandingi susu ibu.
4.3 Pengasuhan Anak anak
Mengasuh anak ialah mendidik, membimbing dan memeliharanya, mengurus makanan, minuman, pakaian, kebersihannya, atau pada segala perkara yang seharusnya diperlukan, sampai batas bilamana si anak telah mampu melaksanakan keperluannya yang penting seperti makan, minum, mandi dan berpakaian. Adapun yang berhak mengasuh anak tadi adalah tentu sahaja ibu kandungnya sendiri. Atau digantikan oleh kaum wanita daripada keluarga ibu, dan jika tidak ada, baru digantikan dengan kaum wanita daripada keluarga bapa.
4.3.1 Urutan Pengasuhan Anak anak
Urutan dalam pengasuhan anak yang telah ditetapkan oleh Islam adalah seperti berikut:
  1. Ibu
  2. Nenek sebelah ibu ( ibu kepada ibu) dan ke atas
  3. Bapa
  4. Saudara perempuan bapa yang seibu sebapa
  5. Saudara perempuan bapa yang seibu
  6. Saudara perempuan bapa yang sebapa
  7. Anak saudara perempuan bapa yang seibu sebapa
  8. Anak saudara perempuan bapa yang seibu
  9. Anak saudara perempuan bapa yang sebapa
  10. Saudara perempuan ibu yang seibu sebapa
  11. Saudara perempuan ibu yang seibu
  12. Saudara perempuan ibu yang sebapa
  13. Anak saudara perempuan ibu yang sebapa
  14. Anak perempuan saudara laki laki seibu sebapa bagi anak tersebut
  15. Anak perempuan saudara laki laki seibu bagi anak tersebut
  16. Anak perempuan saudara laki laki sebapa bagi anak tersebut
  17. Ibu saudara kepada ibu yang seibu sebapa
  18. Ibu saudara kepada ibu yang seibu
  19. Ibu saudara kepada ibu yang sebapa
Begitulah urutannya dengan mendahulukan yang seibu sebapa daripada masing masing keluarga ibu dan bapa. Selepas daripada urutan ini maka hak hadanah terhadap anak anak adalah menurut tertib dalam hukum waris. Jika anak itu masih kecil

No comments: